Senin, 11 Oktober 2010

Hadist Dhaif dan Maudhu

PENDAHULUAN

Salah satu di antara sederetan musibah atau fitnah besar yang pernah menimpa umat Islam sejak abad pertama hijriah adalah tersebarnya hadits-hadits dha'if (lemah) dan maudhu' (palsu)di kalangan umat. Hal itu juga menimpa para ulama kecuali sederetan pakar hadits dan kritikus yang dikehendaki Allah seperti Imam Ahmad, Bukhari, Ibnu Muin, Abi Hatim ar-Razi, dan lain-lain. Tersebarnya hadits-hadits semacam itu di seluruh wilayah Islam telah meninggalkan dampak negatif yang luar biasa.

Di antaranya adalah terjadinya perusakan segi akidah terhadap hal-hal gaib, segi syariat, dan sebagainya. Telah menjadi kehendak Illahi Yang Maha Bijaksana untuk tidak membiarkan hadits-hadits semacam itu berserakan di sana-sini tanpa mengutus atau memberikan keistimewaan pada sekelompok orang berkemampuan tinggi untuk menghentikan dampak negatif serta menyingkap tabirnya, kemudian menjelaskan hakikatnya kepada khalayak. Mereka itulah para pakar hadits asy syarif, para pengemban panji sunnah nabawiyyah yang telah didoakan Rasulullah saw. dengan sabdanya: ,

"Allah SWT membaikkan kedudukan seseorang yang mendengar sabdaku, memahaminya, menjaganya, dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Boleh jadi pengemban fiqih akan menyampaikannya kepada yang lebih pandai darinya." (HR Abu Daud dan Tirmidzi serta Ibnu Hibban).

Para pakar hadits telah melakukan penelitian dan menjelaskan keadaan hadits- hadits Rasullah dengan menghukuminya sebagai hadits sahih, dha'if,dan maudhu'. Mereka pun membuat aturan dan kaidah-kaidah, khususnya yang berkenaan dengan ilmu tersebut. Siapa pun yang berpengetahuan luas dalam ilmu ini akan mudah mengenali derajat suatu hadits, sekalipun tanpa adanya nash. Inilah yang dikenal dengan nama ilmu Mushthalah Hadits.

Para ulama mutakhir telah membuat dan menyusun kitab secara khusus untuk mengenali hadits-hadits Rasulullah saw. dengan menjelaskan kedudukannya. Yang paling terkenal dan paling luas pembahasannya adalah kitab Al-Maqaashidul-Hasanah fi Bayaani Katsiirin minal-Ahaditsil-Musytaharah 'alal-Alsinah karangan al-Hafizh as-Sakhawi. Berikutnya kitab Nashabur-Rayah li Ahaadiitsil-Hidaayah karangan al-Hafizh az- Zayla'i. Kitab ini menjelaskan keadaan atau derajat hadits-hadits yang banyak diutarakan oleh ulama yang bukan pakar hadits, serta menjelaskan mana yang benar-benar hadits dan mana yang bukan.

Kitab-kitab lain di antaranya Al-Mughni Jan Hamlil-Asfari fi takhriji ma fil-Ahya 'i minal-Akhbar karangan al-Hafizh al-Iraqi, Talkhisul-Habir fi Takhriiji Ahaaditsir-Rafi'il-Kabiri karangan Ibnu Hajar al-Asqalani, Takhrij Ahadits al-Kasysyaf karangan Ibnu Hajar dan Takhrij Ahadits asy-Syifa' karangan as-Sayuthi.

Para ulama tadi telah memudahkan dan membuka jalan kemudahan bagi para generasi sesudahnya untuk mengetahui dan mengenali derajat tingkatan hadits-hadits Rasulullah saw. Namun, sangat disayangkan kebanyakan mereka (yakni generasi penerus, baik ulama maupun para penuntut ilmu) tidak mau menyempatkan membaca kitab-kitab tadi dengan serus. Itulah sebabnya mereka tidak tahu derajat hadits yang telah mereka hafal di luar kepala, yang mereka baca dan pelajari dalam berbagai kitab yang tidak menyebutkan dengan rinci kedudukan hadits yang bersangkutan. Karena itu, kita sering mendapati hadits dha'if atau maudhu' diutarakan dalam ceramah, artikel di media massa,atau bahkan ditulis dalam kitab-kitab.

Begitu juga para guru dan dosen di kelas-kelas maupun di ruang kuliah. Tentu saja ini sangat berbahaya dan saya khawatir jangan-jangan mereka termasuk orang-orang yang mendapat ancaman seperti dimaksud sabda Rasulullah saw.:

"Barangsiapa dengan sengaja berdusta dalam hadits-haditsku dengan sengaja, hendaklah ia menempatkan dirinya dalam api neraka." (HR Ashabus Sunan clan Ashabus Shahah).

Kalaupun mereka tidak secara langsung mendustakan hadits-hadits Rasulullah saw., mereka dikaregorikan sebagai pengikut atau pengekor dalam menyebarluaskan hadits-hadits yang belum jelas sahih dan dha'ifnya. Di samping itu, mereka juga mengetahui bahwa dalam hadits-hadits Rasulullah saw. ada yang dha'if dan ada pula yang maudhu'. Dalam hal ini Rasullulah saw; telah mengisyaratkan dalam sabdanya:

"Cukuplah sebagai pendusta bagi seseorang akibat berdusta karena menceritakan semua yang didengarnya." (HR Muslim).

Kemudian diriwayatkan dari Imam Malik, beliau bersabda:
"Ketahuilah bahwa seseorang itu tidak akan terlepas atau selamat dari pembicaraan semua yang didengarnya. Dan tidak layak ia menjadi seorang imam atau pemimpin sedang ia senang menceritakan semua yang didengarnya."

Imam Ibnu Hibban dalam sahihnya mengatakan, wajib masuk neraka bagi siapa saja yang menisbatkan sesuatu kepada Rasulullah saw. padahal ia tidak mengetahui sejauh mana kebenarannya. Kemudian menyebutkan hadits "man qaala 'alayya ... dan seterusnya" seperti yang diriwayatkan oleh Ashhabus Sunan.

Lebih lanjut Ibnu Hibban berkata, "Telah nyata dari apa yang kami riwayatkan tadi bahwa itu adalah sahih," seraya mengutarakan hadits dengan sanad dari Samurah bin Jindub:

"Barangsiapa mengutarakan hadits dariku dan diketahui bahwa dusta, ia termasuk pendusta." (Juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Samurah dan Mughirah bin Syu'bah).
Menjadi jelaslah apa yang saya kemukakan tadi bahwa tidak boleh meriwayatkan atau mengutarakan hadits tanpa mengetahui sejauh mana kesahihannya. Karena itu, siapa saja yang melakukannya, ia termasuk orang yang berdusta dengan mengatasnamakan Rasulullah saw. dan termasuk orang-orang yang diancam oleh beliau dengan diberikannya tempat di dalam neraka, seperti yang tercantum dalam hadits mutawatir tadi.

Menyadari bahaya seperti inilah maka saya merasa perlu berperan serta menyumbangkan pemikiran, menjelaskan dan mendekatkan jalan untuk mengetahui sejauh mana kesahihan hadits yang sering kita dengar atau kita baca dalam berbagai kitab ataupun lainnya, yang tidak kita dapatkan dalam sumber aslinya di kalangan para pakar hadits. Juga saya ingin menyumbangkan dengan memudahkan jalan untuk mengenali hadits-haditsyang dipalsukan oleh orang-orang Zindiq. Barangkali hal ini dapat dijadikan peringatan bagi orang-orang yang mau berpikir atau yang merasa takut akan azab-Nya.

Kemudian, dalam menulis kitab ini saya tidak menggunakan metode abcd sesuai urutan abjad, tetapi saya menulis apa adanya sesuai dengan apa yang saya anggap perlu. Kitab ini saya mulai dengan dua buah hadits yang saya baca dari sebuah artikel dalam koran Al Alamul Gharra' edisi 2404, tulisan salah seorang mursyid ketika tengah meneliti masalah yang berkenaan dengan Isra dan Mi'raj Rasulullah saw.

Akhirnya, hanya kepada Allahlah saya berharap taufik dan hidayah-Nya, karena hanya Dialah Yang Maha Pemberi Taufik.


(Muhammad Nashiruddin al-Albani)


Hadits 1
"Agama adalah akal. Siapa yang tidak memiliki agama, tidak ada akal baginya."

Hadits tersebut batil. Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa'i dari Abi Malik Basyir bin Ghalib. Kemudian ia berkata, "Hadits ini adalah batil munkar." Menurut saya, kelemahan hadits tersebut terletak pada seorang sanadnya yang bernama Bisyir. Dia ini majhul (asing/tidak dikenal). Inilah yang dinyatakan oleh al-Uzdi dan dikuatkan oleh adz-Dzahabi dalam kitab Mizanul-I'tidal dan al-Asqalani dalam kitab Lisanul-Mizan.

Satu hal yang perlu digarisbawahi di sini ialah bahwasanya semua riwayat/hadits yang menyatakan keutamaan akal tidak ada yang sahih. Semua berkisar antara dha'if dan maudhu'. Saya telah menelusuri semua riwayat tentang masalah keutamaan akal tersebut dari awal. Di antaranya apadiutarakan oleh Abu Bakar bin Abid Dunya dalam kitab al-Aqlu wa Fadhluhu. Di situ saya dapati ia menyebutkan, "Riwayat ini tidaklah sahih."

Kemudian Ibnu Qayyim dalam kitab al-Manaar halaman 25 menyatakan, "Hadits-hadits yang berkenaan dengan akal semuanya dusta belaka."

Hadits 2
"Barangsiapa shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, maka ia tidak menambah sesuatu pun dari Allah SWT kecuali kejauhan."

Hadits tersebut batil. Walaupun hadits tersebut sangat dikenal dan sering menjadi pembicaraan, namun sanad maupun matannya tidak sahih.

Dari segi sanad, telah diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab al-Mu'jam al-Kabir, al-Qudha'i dalam kitab Musnad asy-Syhab II/ 43, Ibnu Hatim dalam Tafsir Ibnu Katsir II/414 dan kitab al-Ka-wakib ad-Darari I/2/83, dari sanad Laits, dari Thawus, dari Ibnu Abbas r.a.. Ringkasnya, hadits tersebut sanadnya tidak sahih sampai kepada Rasulullah saw, tetapi hanya mauquf (berhenti) sampai kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan merupakan ucapannya dan juga hanya sampai kepada Ibnu Abbas r.a. Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitabul-Iman halaman 12, tidak menyebut-nyebutnya kecuali sebagai riwayat mauquf yang hanya sampai kepada Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas r.a.

Di samping itu, matannya pun tidak sahib sebab zhahirnya mencakup siapa saja yang mendirikan shalat dengan memenuhi syarat rukunnya. Padahal, syara' tetap menghukuminya sebagai yang benar atau sah, kendatipun pelaku shalat tersebut masih suka melakukan perbuatan yang bersifat maksiat. Jadi, tidaklah benar bila dengannya (yakni shalat yang benar) justru akan makin menjauhkan pelakunya dari Allah SWT. Ini sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak pula dibenarkan dalam syariat. Karena itu, Ibnu Taimiyah menakwilkan kata-kata "tidak menambahnya kecuali jauh dari Allah" jika yang ditinggalkannya itu merupakan kewajiban yang lebih agung dari yang dilakukannya. Dan ini berarti pelaku shalat tadi meninggalkan sesuatu sehingga shalatnya tidak sah, seperti rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Kemudian, tampaknya bukanlah shalat yang demikian (yakni yang sah dan benar menurut syara') yang dimaksud dalam hadits mauquf tadi.

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits tersebut dha'if, baik dari segi sanad maupun matannya. Wallhu alam bishsbawab.

Hadits 3
"Himmah (keteguhan niat) laki-laki dapat meluluhkan (menyingkirkan) gunung-gunung."

Ini bukan hadits. Syekh al-Ajluni dalam kitab Kasyful-Khafa berkata, "Saya tidak menyatakannya sebagai hadits. Namun, ada sebagian ulama yang meriwayatkan dari Syekh Ahmad al-Ghazali bahwa ia mengatakan, Rasulullah saw. telah bersabda, 'Himmatur Rijaali taqla'ul jibaala.'"

Saya telah merujuk dan meneliti seluruh kitab sunnah namun tidak saya dapati di dalamnya. Adapun apa yang diutarakan Syekh Ahmad al-Ghazali tentang hadits tersebut tidaklah dapat dibuktikan dan tidak pula dibenarkan sebab ia tidak termasuk pakar hadits. Namun, ia seperti saudara kandungnya yakni Muhammad al-Ghazali, termasuk fuqaha sufi. Dalam Ihya Ulumuddin ia memang banyak mengutarakan hadits dan menisbatkannya kepada Rasulullah saw., tetapi oleh al-Hafidz al-Iraqi dan lainnya dinyatakan tidak ada sumber asalnya (tidak sahih).

Hadits 4
"Berbincang-bincang dalam masjid itu menggerogoti pahala-pahala seperti binatang ternak memakan rerumputan."

Hadits di atas tidak ada sumbernya. Al-Ghazali meriwayatkannya dalam kitab Ihya Ulumuddin I/136, tetapi al-Hafidz al-Iraqi menyatakan, "Saya tidak mendapatkannya dari sumber aslinya."

Abdul Wahhab Taqiyuddin as-Subuki dalam kitab Tabaqat asy-Syafi'iyyah IV/145-147 mengatakan dengan tegas, "Saya tidak mendapatkan sanadnya."

Hadits 5
"Tidaklah seorang hamba meninggalkan sesuatu untuk Allah dan ia tidak meninggalkannya kecuali karena Allah kecuali Allah menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya dalam urusan agama serta keduniaannya."

Hadits tersebut maudhu'. Saya sendiri pernah mendengar kata-kata tersebut diutarakan oleh seorang tokoh yang tengah mengisi acara di radio Damaskus pada bulan Ramadhan.

Abu Naim telah mengutarakannya dalam kitab Huliyyatul-Auliya II/196, kemudian ia berkata, "Itu hadits gharib (asing)."

Menurut saya, sanadnya maudhu' (palsu) sebab yang sesudah az-Zuhri tidak disebutkannya sama sekali dalam kitab-kitab hadits selain Abdullah bin Sa'ad ar-Raqi dan dia dikenal sebagai pendusta. Ad-Daru Quthni menyatakannya sebagai pendusta seraya berkata, "Dia adalah pemalsu hadits."

Hadits 6
"Hindarilah debu, karena darinyalah timbulnya penyakit asma."

Saya tidak mengetahui sumber hadits yang disebutkan oleh Ibnu Atsir dalam kitab an-Nibayah pada maddah nasama tersebut seraya mengatakannya sebagai hadits. Namun, saya tidak mendapati ia menyebutkan sumber aslinya secara marfu' (sampai sanadnya kepada Rasulullah saw. penj.).

Ibnu Saad dalam Thabaqat al-Kubra VIII/198 meriwayatkan bahwa Abdullah bin Shaleh al-Mashri berkata, dari Harmalah bin Imran apa yang diceritakan kepada mereka oleh Ibnu Sindir pengikut (budak) Rasullulah saw. Ia berkata, "Suatu saat datanglah Amr Ibnul Ash sedang Ibnu Sindir telah bersama sekelompok orang. Tiba-tiba orang-orang yang bergerombol bermain-main menebarkan debu ke udara. Amr kemudian mengulurkan imamah (surban)-nya seraya menutupi hidungnya dan berkata, 'Hati-hatilah kalian terhadap debu karena itu merupakan suatu yang paling gampang masuknya dan paling sulit keluarnya. Bila debu telah masuk menembus paru-paru, maka timbullah penyakit asma."

Jadi, disamping riwayat tersebut mauquf (terhenti sampai kepada sahabat) juga sanadnya tidak sahih. Alasannya:

Ibnu Saad hanya menyandarkan riwayat tersebut tanpa menyebutkan kaitan antara dia dengan Abdullah bin Shaleh. 

Ibnu Shaleh itu lemah. Hal ini dinyatakan oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah.
Kaitan antara Harmalah dengan Ibnu Sindir tidak dijelaskan, karena itu dikategorikan sebagai majhul.

Hadits 7
"Dua hal janganlah Anda dekati. Menyekutukan Allah dan mengganggu (merugikan) orang lain."

Riwayat tersebut tidak ada sumbernya. Memang ia sangat masyhur dan menjadi pembicaraan dengan lafazh yang demikian. Namun, saya tidak mendapatkannya dalam kitab-kitab sunnah. Barangkali riwayat itu berasal dari kitab Ihya Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali II/185, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

"Dua hal yang tidak ada sesuatu kejahatan yang melebihinya, yaitu menyekutukan Allah dan memudharatkan (mengganggu) hamba-hamba Allah. Dan dua hal yang tidak ada kebaikan yang melebihinya, yaitu iman kepada Allah dan memberi manfaat kepada hamba Allah."

Hadits tersebut tidak ada dan tidak diketahui sumbernya. Al-Iraqi dalam merinci riwayat tersebut mengatakan, "Riwayat tadi telah dipaparkan oleh penulis Kitab al-Firdaus dari hadits Ali sedang anaknya tidak menyandarkannya dalam musnadnya. Karena itu, As-Subuki menyatakan bahwa apa yang tercantum dalam Ihya riwayatnya tidak bersanad.


Judul Asli: Silsilatul-Ahaadiits adh-Dhaifah wal Maudhu'ah wa Atsaruhas-Sayyi' fil-Ummah
Judul: Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu'
Penulis: Muhammad Nashruddin al-Albani
Penterjemah: A.M. Basamalah, Penyunting: Drs. Imam Sahardjo HM.
Cetakan 1, Jakarta
Gema Insani Press, 1994

Jika Anda suka artikel ini, BLOG-C akan kirim langsung ke alamat email Anda.
Silahkan masukkan alamat email Anda, kemudian klik "Subcribe" :



Lihat juga artikel BLOG - C dibawah ini :
1. Kisah Nabi ISA AS
2. Kisah Aisyah Binti Abu Bakar Rha
3. Kisah Maimunah Binti Al-Harits Rha
4. Kisah Juwairiyah Binti Al-Harits Rha
5. Kisah Zainab Binti Jahsy Rha
6. Kisah Siti Khadijah Khuwailid Rha
7. Kisah Saudah Binti Zamah Rha
8. Kisah Hafsoh Binti Umar Rha
9. Kisah Shafiyyah Binti Huyai Rha
10. Kisah Ummu Salamah Rha
11. Kisah Ummu Habibah Rha
12. Kisah Abdullah Bin jafar
13. Kisah Hasan Ra, Husein Ra, dan Abdullah Bin Jafar Ra
14. KIsah Syeikh Malik Bin Dinnar Rah
15. Kisah Imam Ahmad Bin Hambal Rah
16. Kisah Imam Abu Hanifah Rah
17. Kisah Imam Malik Rah
18. Kisah Imam Muslim Rah
19. Kisah Imam Al-Bukhari Rah
20. Kisah Imam Syafi'i Rah
21. Kisah Syeikh Maulana Ilyas
22. Kisah Syeikh Muhammad Zakaria
23. Jalan tobat sang rocker
24. Kapolda Berdakwah Polisi dapat hidayah
25. Kisah Cat Steven AKA
26. Kisah HENGKI TORNANDO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...